
berarti mendapatkan amanat untuk mendesain perjalanan panjang atau memperkaya kinerja populisnya, dan bermilitansi untuk menghadapi apapun tantangan yang bermaksud mendestruksi independensinya dan tanggungjawab nasionalistiknya.
Perintah pertanggungjawaban itu sudah digariskan pula dalam sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa “setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” oleh Allah SWT di kemudian hari. Di peradilan Tuhan, setiap pemimpin akan dituntut akuntabilitas moralnya selama menunaikan tugasnya.
Tidak ada seorang pemimpin di dunia ini yang bebas dari tuntutan peradilan keilahiahan yang bernama pertanggungjawaban itu. Bisa saja di dunia ini, seorang pemimpin mengobral janji manis atau memproduk program-program yang membahasakan kepentingan rakyat, namun kelak, di hadapan peradilan ilahiah, pemimpin demikian akan “diadili” , apakah amanat kekuasaan sudah dijalankan dengan benar ataukah sebatas “alat membius rakyat”?
Apa yang disebut Maxwell di atas hanya menguatkan sisi beratnya pertanggungjawaban yang harus ditanggung oleh seorang pemimpin, yang sebenarnya bukan hanya pertanggungjawaban di dunia, tetapi juga pertanggungjawaban di alam lain (akhirat).
Di akhirat, ada peradilan yang bermuatan akuntabilitas moral tentang perjalanan kepemimpinan manusia (peran elemen pemerintahan) di negeri ini, yang demikian ini sebenarnya mengingatkan setiap pemimpin tidak bermain-main dengan amanat yang dibebankan kepadanya.
Tuhan tidak membiarkan seseorang yang sudah dipercaya oleh umat (rakyat), manusia atau rakyat untuk menduduki suatu jabatan, yang jabatan ini sekedar digunakan duduk manis, dijadikan ajang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, atau menggunakan aji mumpung bermodus abuse of power.
Tuhan pasti akan menghitungnya secara adil mana diantara kinerja pemimpin yang benar-benar ditujukan demi rakyat, dan mana pula pemimpin yang sekedar menjadikan jabatan sebagai kesempatan memuaskan ambisi-ambisi pribadi, keluarga, dan golongannya.
Kalau ada yang bilang bahwa menjadi pemimpin pemerintahan itu enak dan nikmat, maka pernyataan ini bermakna merendahkan makna moral dan teologis kepemimpinan, yang seolah kepemimpinan itu bersifat instan dan pragmatis, sehingga harus dijadikan jembatan untuk memburu dan mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Itulah virus yang sering menggoda setiap pemimpin pemerintahan atau orang-orang di dekatnya untuk berlama-lama menduduki jabatan tertentu. Mereka tidak mau meninggalkan kursi yang didudukinya, pasalnya sudah merasakan banyak keistimewaan saat menjabatnya.
Kekhawatiran itu beralasan, mengingat penyakit korupsi di negeri ini sudah menjangkiti berbagai elemen strategis bangsa. Sosok tertentu misalnya sekarang terlihat bersih atau tidak terkena virus korupsi, akan tetapi ini tidak menjadi jaminan kalau di kemudian hari bisa ditemukan di dalam diri, anak, atau isterinya, tersangkut beragam dana siluman atau sumber-sumber keuangan secara ilegal.
Memimpin (menahkodai) negeri itu berat tapi mulia. Dalam beratnya memimpin negara ini, ada manfaat besar yang bisa diberikan kepada masyarakat (rakyat), jika pola kepemimpinannya selalu membahasakan (memenuhi) panggilan aspirasi publik. Sementara menjadi beban berat secara moral, bilamana dalam kepemimpinannya gagal membuktikan pembelaan atau pemenuhan hak-hak rakyat. Disinilah beratnya rakyat harus mencari atau memilih pemmpin yang bermental “langit”. (*)
Oleh Abdul Wahid
Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Malang
dan pengurus APHTN/HAN